RAMADHAN TANPAMU



Saat berbuka sudah tiba, mama mempersilahkan kami mengambil kolak pisang yang telah disiapkannya, jalangkote dan kue beras jadi hidangan favoritku, Teh adalah andalan kakekku, kopi andalan bapakku, sedang aku sendiri suka apa saja yang dihidangkan mamaku, adikku sering ngambek jika ia tdk kebagian meski sebenarnya matanya yang rakus, tertawa karenanya membuat kami sungguh menikmati kebersamaan itu.
Biasanya bapak dan nenek langsung melanjutkan shalat di masjid, mereka hanya menikmati makanan ringan seperti kolak ataupun es buah, nanti sehabis shalat di masjid barulah mereka makan besar, sedang aku dan adikku melanjutkan makan besar berlomba menghabiskan makanan favorit yang dihidangkan mama, sementara kami asyik makan, mama dan kakakku melanjutkan shalatnya di rumah, aku masih selalu di ingatkan untuk shalat waktu itu, aku dan adikku kadang merasa begah bahkan kekenyangan karena makan yang banyak, mungkin anak muda seperti kami mengatakannya balas dendam, lucu tapi. Namun itulah yang kurindukan. 
Saat ini aku tengah duduk di rumah mama piaraku di maluku, tepatnya di desa atubul, maluku tenggara barat. Aku menikmati ramadhan tanpa keluargaku disulawesi, dengan mama piara yang sebenarnya katolik dan semua warga desa katolik aku menikmati ramadhanku sendiri. 
Tapi mama piaraku selalu menyiapkanku makanan untuk berbuka ataupun sahur, aku sangat menghargai ini, betapa tidak seorang mama baru yang beragama katolik mau menyiapkan buka dan sahur untukku, ditengah mayoritas seperti ini apakah kalian pernah merasakannya? Rindu terselubung dibalik kebaikan. Air mata mengalir disela canda tawa, saat sendiri itulah saat yang sangat memilukan, merindu namun tak mampu berbuat apa-apa. 
Pada puasa ketiga sebelum hari ini aku diberi.penghargaan yang begitu besar, kepala sekolah tempatku bertugas menunjukkan besar toleransinya dengan mengundang kami SM3T kec.wertamrian untuk berbuka puasa bersama, bayangkan seorang beragama katolik mengundang kami buka puasa, teman-teman awalnya merasa aneh namun kuyakinkan mereka bahwa ini adalah bentuk toleransi yang luar biasa dan tidak kita akan dapatkan mungkin ditempat yang lain. Kamipun menerima itu dan datang ke atubul bersama-sama. 
Buka puasa saat itu sangatlah unik, mereka menyiapkan kelapa muda yang segar,makanan yang melimpah, pisang masak,beras merah dan putih jadi karbonya, ikan segar dan ayam potong dari surabaya jadi lauknya, pelengkapnya adalah pisang matang yang manis, betapa manis saat toleransi agama itu dituangkan dalam kebersamaan seperti ini, kami semua islam baik katolik makan bersama dalam nuansa ramadhan.
Aku mengenang semua itu. Saat ini sebuah permainan judi terjadi didepan mataku, warga sekompleks atau seRT memainkannya setiap malam, namanya main KING namun tentulah aku tidak turut andil, aku hanya bisa menonton mendengarkan bandar bernyanyi, disitulah rindu akan kampung halaman saat ramadhan seperti ini anak muda di simpang tiga kajuangin mulai bermain enggo, mangngasing, atapun perang petasan, di masjid bisanya kami berbuka menikmati hidangan dari ibu-ibu yang bergiliran menyiapkan santap buka, biasanya kami begitu menikmatinya. 
"Ron 30, 7 gandeng 2. Ron maradona(10), talucu nona manis (6) 3 gandeng 8." Begitu bandar bernyanyi, menikmati ini disini namun dihati menginginkan yang lain, jika ini di kampung halaman maka yang terdengar adalah suara orang mengaji, suara adzan, ceramah, bahkan dzikir. Aku.begitu merindukan ini semua. Sekali waktu kudengar dan kulihat jelas lantunan ayat suci Al-Quran di baca oleh salah satu hafiz dari arab disalah satu stasiun TV swasta, air mataku bercucuran, aku terpaksa menghapusnya karena aku tak mau terlihat cengeng dihadapan keluarga baruku disini, aku tidak hanya habis pikir bagaimana menjawab pertanyaan mereka jika bertanya kenapa aku menangis, kalau. kujelaskan aku tersentuh dan rindu akan lantunan ayat suci itu, maka dipikiranku adalah mereka Katolik. Yah ini mungkin pikiran yang ngawur tapi itulah yang terjadi padaku. 
Saat sahur mama piara biasa membangunkanku dengan memanggil-manggil aku dengan sebutan kakak guru, dia begitu baik. Jika ia masak ia akan membangunkan bapak piaraku, karena sebenarnya ia takut sendiri di malam pagi buta, aku sangat bersyukur dan menghargai hal ini, makanan yang masih panas dan lauk yang masih segar dihidangkannya, aku menikmatinya sendiri meski sepi itu ada,ia menjelma menjadi rindu, 
Aku jadi ingat bagaimana kakakku melemparkan bantal guling kepadaku atau menarik kakiku, untuk membangunkanku sahur, pasti kakek yang lebih dulu di meja makan menanti semua anggota keluarga untuk makan sahur, mamaku selalu makan terakhir memastikan semua tercukupi, kadang ia hanya makan dari sisa kami, ia tahu persis bagaimana anaknya yang satu ini tidak makan ikan bagian kepala, jadi pastilah yang menyelesaikannya mama, 
Sekali waktu mama piaraku sudah selesai menyiapkan makanan untuk sahurku namun melihat waktu yang masih pukul 03.30 ia duduk dikursi dan ketiduran, sedang aku tertidur jua, alarm yang kupasang sama sekali tidak terdengar karena tertindih bantal lagi getarnya tidak aktif, aku bangun jam 05.30 dan habislah perkara, mama juga terbangun dan kemuadian menyatakan penyesalannya tidak langsung membangunkanku, justru akulah yang salah, karena akulah yang tidak bangun tepat waktu sedangkan ia sudah menyiapkan semuanya, akhirnya hari itu kulanjutkan puasaku tanpa air setetespun menemaniku, kujalankan kewajibanku. Meski mama piaraku sangat khawatir akan ini itu tapi aku meyakinkannya bahwa aku sanggup. 
Rindu itu terus bergemuruh mama, saat bapak membangunkanku sahur,saat kakek menceritakan masa lalunya sebagai gerilya, saat bercanda dengan omku yang periang, saat curhat dengan kakakku yang pengertian,saat berbicara kosong dengan adikku yang bungsu. Aku menjadi begitu perindu, namun inilah jalan yang kupilih, berjuang demi pendidikan dipelosok negeri, menjelajah mencari pengalaman demi pengalaman guna memantaskan diri menjadi guru yang baik kelak. 
Puasa kali ini tanpamu mama. 

Atubul da,wertamrian,Maluku Tenggara Barat.
11 07 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanti,Menunggu dan Berharap

NURHIDAYAH (tak berjudul)